Berdasarkan definisi dari para ahli, social marketing pada dasarnya merupakan aplikasi strategi pemasaran komersil untuk “menjual” gagasan dalam rangka mengubah sebuah masyarakat, terutama dalam manajemen yang mencakup analisa, perencanaan, implementasi dan pengawasan. Lalu bagaimana organisasi nirlaba perlu memahami dan merancang strategi social marketing berdasarkan pemahaman ini? 

Selain penerapan 9 elemen marketing yang telah dikenal (segmentasi pasar, target, positioning, diferensiasi, marketing mix, selling, brand, service dan process), pada dasarnya marketing menurut Hermawan Kertajaya adalah sesuatu yang sederhana. Ia mengumpamakannya sebagai seni “menjual” diri (selling self) atau organisasi. Apabila seseorang atau organisasi mempraktikkan prinsip-prinsip: promosi tanpa memaksa, memahami dan menerapkan positioning secara tepat, memahami branding dan diferensiasi berarti lembaga atau seseorang perusahaan telah menjalankan marketing dengan benar.
 
Apa saja landasan pemasaran secara umum yang dapat diterapkan pada pemasaran sosial? Hermawan mengistilahkan dasar-dasar marketing sebagai “3i Marketing Triangle”, yaitu positioning (cara sasaran/publik yang hendak diubah perilakunya mendefinisikan perusahaan/organisasi dengan kompetitor), differentiation (perbedaan ) dan brand (keunikan, ketajaman, dan fokus sebuah produk dibandingkan dengan produk lainnya, bisa berupa logo dan bentuk unik).
Penerapan social marketing merupakan salah satu bagian dari sebuah framework yang disebut “doing great by doing good” (Phiip Kotler & Nancy Lee, “Corporate Social”). 6 pilihan untuk berbuat baik tersebut adalah cause promotions, cause related marketing, social marketing, corporate philantropy, community volunteering. 
 
Cause promotions adalah upaya menyediakan dana dalam bentuk kontribusi atau sumber lainnya untuk meningkatkan kesadaran atau kepedulian terhadap masalah sosial. Pilihan lainnya adalah cause related marketing, yaitu komitmen untuk menyumbangkan atau mendonasi sejumlah uang dari penjualan produk. Yang ketiga adalah social marketing, yang merupakan upaya untuk mendukung implementasi dan/atau mengubah perilaku masyarakat. Yang berikutnya, filantropi perusahaan, sebagai contoh membuat kontribusi langsung dalam menyumbangkan sejumlah dana untuk kemanusiaan. Yang kelima, community volunteering, yaitu upaya perusahaan dalam mendukung kegiatan karyawan dalam kegiatan sukarela. Poin yang paling akhir yang paling sulit dilaksanakan oleh dunia bisnis adalah socially responsibility bussiness practices. 
 
Sebagaimana yang dilakukan oleh Anita Roddick dengan “The Body Shop”. Ia yang melakukan hal ini dengan membeli produk langsung dari komunitas atau suku asli yang membudidayakan tanaman di daerahnya, seperti Brazilian Nut. Hal lain yang juga dilakukan perusahaan kosmetik dan perawatan kesehatan ini adalah membuat semua produknya melalui proses yang ramah lingkungan. Uraian Hermawan ini menjelaskan betapa dunia bisnis masa kini dan yang akan datang tidak lagi berseberangan dengan organisasi nirlaba. Selain karena adanya pergeseran nilai, dunia bisnis memandang penting mengedepankan nilai-nilai sosial (social values) dan adanya peluang bagi organisasi nirlaba hidup berdampingan secara sinergis , misalnya melalui program CSR (corporate social responsibility). Hal lain adalah pentingnya organisasi nirlaba mengadopsi profesionalisme korporasi dalam bekerja dan memberikan servis, berkaitan dengan kaidah pemasaran umum berupa 9 elemen pemasaran.
 
Marketing seharusnya tidak dipandang hanya sebagai sebuah alat atau seolah anggota tubuh. Pandanglah marketing sebagai sebuah keseluruhan (the whole), sesuatu yang menyeluruh. Menurut Hermawan, di masa kini visi, misi dan nilai-nilai organisasi tidak hanya melibatkan intelektualitas (mind) dan hati (heart), melainkan juga ruh (spirit). Penjabaran dapat dilihat pada bagan “3² Values-Based Matrix”. Intinya, pandanglah marketing sebagai the whole (menyeluruh dan utuh) dan bukan sekadar alat atau diandaikan anggota tubuh. Kuasai filosofi branding dan unsur segitiga pemasaran lainnya!
 
Penerapan teknik pemasaran dalam melaksanakan program-program organisasi nirlaba membutuhkan strategi. Tentu saja strategi yang digunakan sedikit berbeda dibandingkan dengan memasarkan produk barang.  Menurut Linda D. Ibrahim perbedaan yang prinsip terletak pada tambahan “2 P” pada marketing mix bisnis yang hanya terdiri dari “4 P”. Yaitu, partnership (kemitraan) dan policy (kebijakan). Apa artinya? Praktik pemasaran sosial tak ada artinya apabila kemitraan tidak dijadikan tujuan organisasi. Menurut Andreason, penekanannya adalah pada masyarakat luas, langsung mempengaruhi perilaku dan kebutuhan atau kepentingan target sasaran sebagai dasar pertimbangan. 
 
Demikian pula, social marketing tak ada artinya apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan upaya mendorong tersusunnya sebuah kebijakan. Salah satu contoh pembentukan sistem kebijakan adalah adanya tax reduction (pemotongan pajak) bagi lembaga atau korproasi yang menyumbang. Pajak yang jumlahnya reduksi ini bisa menjadi bagian dari advokasi organisasi nirlaba sehingga pada akhirnya organisasi tidak tergantung semata-mata kepada donor 
Dalam bidang sosiologi, pemasaran sosial dipandang tak jauh berbeda dibandingkan dengan bidang pemasaran, yang merupakan akar asal-usul pemasaran sosial. Namun, “memasarkan” gagasan tentu lebih kompleks dibandingkan dengan memasarkan produk. Sebab dibutuhkan pemahaman saat menerapkan langkahlangkah atau strategi social marketing, terutama dengan melakukan riset sosial dan kajian. Diharapkan hasilnya akan menjadi lebih terkoordinasi dan terintegrasi saat melangkah lebih jauh, yaitu dalam upaya menyusun kebijakan sosial.
 
Hal lain yang membedakan pemasaran bisnis dengan pemasaran sosial menurut Linda D. Ibrahim, selain tambahan 2 P pada marketing mix (kemitraan dan kebijakan) adalah penerapan ketrampilan sosial. Ini adalah alat yang memudahkan proses social marketing (lihat boks), terutama dalammempertajam, menggali dan menganalisa secar komprehensif, isu-isu sosial dalam masyarakat. Dinamika dan perubahan sosial akan mudah dipahami dengan mengkaji konektor-konektor (penghubung) sosial tersebut.
 
Konektor-konektor sosial adalah semua bentuk organisasi sosial yang membantu masyarakat membentuk aksi dan interaksi, yang meliputi hubungan sosial, kelompok sosial, jejaring sosial, dan organisasi organisasi. Dengan mengkaji secara komprehensif situasi, dan isu sosial maka organisasi dapat memperoleh peta sosial lengkap dalam konteks dinamika sosial masyarakat di sebuah tempat tertentu. Jadi, organisasi nirlaba dapat sekaligus dapat mengetahui cara melakukan tindakan sosial dalam rangka menerapkan strategi social marketing.
Pandangan yang kurang lebih sama disampaikan oleh Prof. Dr. Emil Salim. Menurutnya, langkah awal “menjual” gagasan adalah dengan mengaitkan nilai inti organisasi dengan perubahan perilaku masyarakat yang hendak dicapai. Langkah berikutnya melakukan analisa situasi. Urutan proses social marketing yaitu 1) Terapkan SWOT (Strenght Weakness Opportunity Threat) pada analisa kondisi awal, 2) Pilih kelompok sasaran yang perilakunya hendak diubah, 3) Tetapkan perubahan perilaku yang diinginkan, 4) Identifikasi manfaat atau hambatan dalam mengubah perilaku, 5) Terapkan strategi social marketing yang beranekaragam untuk mengelakkan hambatan dan mengejar manfaat 6) Perubahan perilaku memakan waktu sehingga strategi social marketing harus diusahakan secara gigih dalam waktu lama dengan indikator prestasi yang terukur.


Baca juga :
               Corporate Social Responsibility
Value Marketing
Green Marketing
Segmentasi Pasar