Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC) mendirikan BANK VAN LEENING yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961 kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN) selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum
Dalam perkembangannya kemudian Perum Pegadaian mengembangkan gadai dengan sistem syariah. Bagi Perum Pegadaian, bisnis syariah merupakan peluang yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi, mayoritas warga Indonesia yang memanfaatkan jasa pegadaian adalah Muslim. Sistem gadai syariah diberlakukan mulai Januari 2003 lalu. Diharapkan, sistem ini akan memberikan ketenangan bagi masyarakat dalam memperoleh pinjaman tanpa bunga dan halal.
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkanfirman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat (38) yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yarg telah diperbuatnya.”
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara’) adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut:
a. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut : Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
b. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut : Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
c. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut : Sesuatu yang bernilai hartu (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
d. Ahmad Azhar Basyir, Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Jadi secara umum Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/lpinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Adapun dasar hukum Gadai Syariah (Rahn) adalah
- QS. AI-Baqarah (2) ayat 283; “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedarg kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
- Beberapa Hadis Nabi Muhammad SAW yang salah satunya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang berbunyi: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubark, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bahwasannya beliau bersabda: Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggandai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfatnya. 32 (HR. Al-Bukhari’
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn;
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah;
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
Jika melihat diantara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional maka dalam beberapa hal keduanya mempunyai beberapa persamaan seperti berikut :
- Hak gadai atas pinjaman uang
- Adanya agunan sebagai jaminan utang
- Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
- Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai
- Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan yang membedakan diantara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional adalah sebagai berikut
Pegadaian Syariah
- Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan.
- Rahn berlaku pada seluruh benda baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
- Dalam rahn tidak ada istilah bunga (biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan penaksiran). Yang ada biaya sewa tempat dan biaya administras. Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
- Hanya memungut biaya (termasuk asuransi barang) sebesar 4% untuk jangka waktu 2 bulan. Bila lewat 2 bulan nasabah tak mampu menebus barangnya, masa gadai bisa diperpanjang dua periode. Jadi Total waktu maksimalnya 6 bulan. ”Tidak ada tambahan pungutan biaya untuk perpanjangan waktu
Pegadaian Konvensional
a. Gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.
b. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak.
c. Adanya istilah bunga (memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda).
d. Dalam hukum perdata gadai dilaksanakan melalui suatu lembaga yang ada di Indonesia disebut Perum Pegadaian.
e. Menarik bunga 10% – 14% untuk jangka waktu 4 bulan, plus asuransi sebesar 0,5% dari jumlah pinjaman. Jangka waktu 4 bulan itu bisa terus diperpanjang, selama nasabah mampu membayar bunga.