Kesadaran akan kewajiban bisnis terhadap konsumen belum begitu lama timbul dalam dunia bisnis dan dalam banyak tempat belum berakar dalam. Selangkah penting dalam memutarkan focus ke arah konsumen ditempuh oleh Presiden John F. kennedy. Pada tahun 1962 ia mengirim kepada kongres (DPR) Amerika, Special Message on Protecting the Consumer Interst, ia menetapkan empat hak yang dimiliki konsumen: the right to safety, the right to be informed, the right to choose, the right to be heard.
Hak atas keamanan, Banyak produk mengandung risiko tertentu untuk konsumen, sebut saja pestisida, obat-obatan, makanan, mainan anak, kendaraan bermotor, dan alat kerja. Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatannya atau bahkan membahayakan hidupnya.
Hat atas informasi, Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya. Semua informasi yang tertera pada label harus benar (isinya, beratnya, tanggal kadaluwarsa, cirri-ciri khusus dan lain sebagainya).
Hak untuk memilih, Dalam era kompetisi konsumen punya hak untuk membandingkan harga, kualitas dari barang yang berbeda sebelum memutuskan untuk membeli.
Hak untuk didengarkan, Konsumen juga berhak untuk didengarkan dan dipertimbangkan terutama keluhannya atas penggunaan barang dan jasa. Dari empat hak tersebut bisa ditambahkan dua hak berikut
Hak lingkungan hidup, Konsumen berhak bahwa produk yang dibelinya adalah produk yang ramah lingkungan sehingga tidak mengurangi kualitas kehidupan di bumi.
Hak konsumen atas pendidikan, Konsumen mempunyai hak atas pendidikan bisa melalui media massa atau di sekolah sehingga mereka dapat dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan hak-haknya.
Dalam undang-undang tentang Perlindungan Konsumen yang dimilki Indonesia sejak April 1999, semua hak tersebut kecuali hak lingkungan hidup (agak disayangkan) sudah tercantum ditambah hak-hak lain seperti hak untuk mendapatkan advokasi serta perlindungan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi atau penggantian bila produk tidak dalam keadaan semestinya. Permasalahan etis yang seringkali muncul adalah dimanakah letak garis pemisah antara tanggung jawab konsumen dan tanggung jawab produsen atas haknya. Untuk itu terdapat tiga teori yang diharapkan mampu menjelaskan permasalahan tersebut. 1. Teori kontrak
Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dengan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak tersebut. Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah Romawi kuno yang berbunyi caveat emptor,” hendaklah si pembeli berhati-hati”.
Produk yang disampaikan kepada konsumen harus memiliki kualitas yang dijanjikan atau disepakati sebelumnya dan dalam memberi kesepakatan si konsumen harus mengambil keputusan dengan kebebasan penuh. Karena itu metode pemasaran bait and switch dari sudut pandang etika dianggap cukup mencurigakan karena menawarkan produk tidak sesuai dengan iklannya yang menarik misal dari sisi harganya yang murah, padahal tidak dimaksudkan untuk produk yang diharapkan.
Bisnis berkewajiban juga menjamin produk yang diharapkan konsumen seperti (1) bisa diandalkan berarti berfungsi seperti semestinya, (2) dapat dipergunakan selama periode yang diharapkan, (3) dapat dipelihara atau diperbaiki jika rusak (4) aman dan tidak membahayakan kesehatan atau keselamatan si pemakai.
2. Teori perhatian semestinya
Berbeda dengan pandangan kontrak, pandangan ini tidak menyetarafkan produsen dan konsumen, melainkan bertolak pada kenyataan bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah, karena produsen memiliki pengetahuan dan pengalaman yang jauh lebih baik daripada konsumennya. Untuk itu berlaku caveat venditor “hendaklah si penjual berhati-hati. Kalau teori pertama terdapat kelemahan, maka teori ini juga mempunyai kelemahan misalnya pengetahuan yang terbatas dari produsen atas semua produknya, kadang akibat negative baru ketahuan setelah lama dipakai atau setelah ada temuan (hasil riset). Tengok kembali kasus Ajinomoto, tahu dan baso formalin dan yang lainnya.
3. Teori biaya social
Teori ini merupakan versi ekstrim dari semboyan caveat venditor, karena menurut pendukung teori ini semua akibat negative dari produk (social cost) harus dibebankan pada produsen. Tujuannya untuk memaksa agar produsen membuat produk-produk yang aman. Masalah yang akan muncul adalah bagaimana dengan produsen rokok?